- Get link
- X
- Other Apps
"Teman? Oh maksudmu sekumpulan anak-anak brengsek yang cuman memanfaatkan gue?" Begitu kata si pintar, Dimas.
Di antara semua temannya, Dimas adalah anak yang tergolong lebih pandai. Tak jarang teman-temannya bertanya pelajaran atau sesuatu yang mereka tak mengerti. Wajar, memang. Namun tidak bagi Dimas. Sejak kejadian yang Ia alami saat SMP, membuatnya memandang teman dengan cara yang berbeda. Memang apa yang terjadi? Ini kejadiannya.
SMP Kita Bahagia. Itulah nama sekolah yang menjadi rumah ke-2 Dimas di tahun 2010 hingga 2013. Di SMP itu, Dimas sering menjadi yang terbaik di angkatannya, Ia juga banyak mencatat prestasi: Juara 1 lomba matematika se-Indonesia, juara 3 membaca puisi, juara 2 lomba menulis cerpen. Dimas sendiri adalah anak yang supel, alias mudah bergaul. Banyak yang cocok berteman dengannya. Ia juga bukan anak yang tergolong 'nakal', tidak pernah Dimas membuat masalah ataupun berurusan dengan bimbingan konseling (BK).
Suatu hari, seperti sekolah pada umunya, ada yang namanya tugas kelompok. Tugas itu mengharuskan murid-murid untuk masing-masing berkelompok, tiap kelompok beranggotakan 5 orang. Dengan semua catatan prestasi dan gelar 'terbaik' se-angkatan, tentu saja banyak anak yang berharap dapat satu kelompok dengannya. Tapi sayang, ternyata pembagian kelompoknya berdasarkan nomor absen. Beruntung sekali yang dapat satu kelompok dengan Dimas.
Dika, Rio, Santi, dan Chika. Merekalah orang-orang yang beruntung itu. Beres tugas itu diberikan, mereka ber-lima berunding. "Tugasnya lumayan susah nih, gimana kalau kita bagi tugas? Biar tugasnya cepet selesai?" Rio mengusulkan.
"Ide bagus, gue setuju" Sahut Dika
"Kalo gitu baginya gimana? kita kan berlima, gimana kalo setiap bab kita kerjakan masing-masing ber-dua?" Ide dari si Chika.
"Lah? Kok? Justru berlima, masa ada anak yang ngerjain 1 bab sendiri?" Protes Santi dengan nada heran.
"Mangkanya, masa gue sendiri cuy? Hahaha." Jawab Dimas setengah bercanda.
"Oh ide bagus tu Dim, lu kan pinter. masa ga bisa sih ngerjain kayak gitu doang? Ucap Dika enteng.
"Iya ya, si Dimas kan pinter, harusnya ga masalah sih." Rio pun setuju.
"Iya.. Dimas ga masalah kan?" Tanya Chika dengan nada lembutnya.
Merasa terpaksa dan luluh dengan suara Chika yang lembut, Dimas pun setuju. "Iya deh gue usahakan."
Santi yang awalnya keberatan, mengatakan, "Yaudah deh, kalo Dimasnya mau, gue ikut aja."
Deadline minggu depan. 3 hari telah berlalu. Dimas dengan rajinnya mengerjakan tugas untuk 2 orang, tapi harus dia kerjakan sendiri. Pagi sekolah, sore pulang, malam mengerjakan tugas kelompok, belum tugas-tugas individu lain yang juga harus Ia kerjakan. Tapi, Dimas bukanlah anak yang mudah mengeluh. Ia kerjakan semua itu dengan rasa penuh tanggung jawab. Tiba hari pengumpulan. Mereka pun mengumpulkan tugas tadi tepat waktu. Bahkan, mereka juga menjadi kelompok dengan nilai tertinggi.
Hingga mereka ber-5 sering satu kelompok di tugas-tugas lainnya. Semua berjalan lancar. Hingga suatu ketika, ada kejadian yang membuat pandangan Dimas kepada teman menjadi berubah, hingga sekarang. Lama kelamaan, teman-teman kelompoknya sekamin sering meminta bantuan kepada Dimas. Minta bantuannya pun tak tanggung-tanggung.
"Dim, gue minta tolong dong, gue besok ada acara keluarga. Sedangkan tugasnya harus dikumpulin besok, tolong kerjain bagian gue dong." Kejadian pertama.
Kejadian kedua terulang dengan alasan yang berbeda, ketiga, keempat. Semakin lama, intensitasnya semakin sering. Dimas yang bagian mengerjakan, tapi temen-temennya selalu mendapatkan nilai yang sama bagusnya dengannya. Suatu saat, ketika Dimas sudah berada di kelas. Ia mendengar salah satu teman kelompoknya, Chika, sedang berbincang-bincang dengan temannya. "Beruntung banget gue bisa deket sama Dimas. Jadi gue bisa minta tolong ngerjain tugas gue ke dia, apalagi dia orangnya baik." Ucap Chika dengan entengnya.
"Loh? Emang kenapa kok lo sampe minta tolong ke Dimas? Bukannya lo juga ga ada kerjaan?"
"Kalo Dimasnya mau? Kenapa engga? Hahaha."
Mendengar ucapan Chika, muka Dimas memerah. Jauh di lubuk hatinya, Ia sangat kecewa. Perasaan kesal dan marah bercampur menjadi satu. Ingin sekali dia mengeluarkan sumpah serapah kepada teman kelompoknya itu. Namun, Dimas bukanlah orang yang kasar kepada cewek. Ia memilih untuk diam. Namun apa yang sudah Ia dengar itu seakan menyilet dan melukai perasaannya.
Sejak saat itu, Dimas sangat objektif dan sangat berhati-hati dalam memilih teman. Dalam pikirannya sekarang, teman hanyalah sesosok manusia brengsek yang memanfaatkan kebaikan dari manusia lainnya.
Comments
Post a Comment