- Get link
- X
- Other Apps
Ayah.
Mendengar jawaban dari ibu gue, gue kaget, juga sedih. Gue bilang. "Aku pulang bentar ya ma, ganti baju, kayaknya kita bakalan nginep di rumah sakit kan? Kasian Ayah kalau ditinggal."
Mungkin Ayah adalah sosok pahlawan untuk kebanyakan orang, tapi tidak buat gue. Tidak ada yang dapat gue banggakan dari Ayah gue. Pemarah, pemabuk, tukang ngomel, tukang onar, dan kerjaannya hanyalah minta uang ke Ibu gue. Apa yang dapat dibanggakan dari sosok ayah yang seperti itu?
Gue sendiri adalah anak terakhir dari 4 bersaudara. Bisa dibilang, semua kakak gue itu sukses. Kakak gue yang pertama berhasil menyelesaikan kuliahnya dan menjadi dokter di luar kota, kakak gue yang kedua menjalankan usaha kecil-kecilan, dan kakak gue yang ketiga berhasil masuk ke salah satu universitas ternama di Indonesia. Sedangkan gue, gue masi anak SMA yang bersekolah di sekolah negeri yang tidak terlalu banyak orang tau namanya. Bukan orang sukses? Ya, mungkin bisa dibilang seperti itu, tapi gue punya pembelaan diri.
Banyak yang bilang kalau masa SMP adalah masa anak-anak mencari jati diri mereka. Membuat onar, nakal, dan tidak dapat mengendalikan emosi adalah contoh-contoh cara kebanyakan anak untuk mencari jati diri mereka. Tapi tidak buat gue. Saat di kelas, dimana kebanyakan anak lain bermain sesamanya, gue hanya merenung, menggerakkan pensil di atas kertas untuk membentuk sebuah gambar. Gue tidak pernah membuat onar di sekolah. Akibatnya, gue bahkan tidak punya teman untuk diajak bermain bersama. Gue anaknya pemalu. Sangat susah buat gue bisa memulai suatu obrolan, teman gue satu-satunya adalah kesunyian itu sendiri. Damai, itu yang gue rasakan kalau gue lagi sendiri, tidak ada yang mengganggu, bisa melakukan hal yang gue suka tanpa ada yang peduli adalah suatu kebahgaiaan tersendiri buat gue.
Waktu berlalu. Hari menjadi bulan, bulan menjadi tahun, dan gue sekarang menjadi seorang anak SMA yang sering dipanggil ke ruang BK. Mungkin kalian bertanya-tanya, "Kok aneh, bukannya dulunya lo pendiem? Kok tiba-tiba jadi nakal?"
Jawaban gue adalah satu, "Gue seneng jadi seperti ini." Merokok, minum-minum, ngejahilin cewek, membully anak lain. Gue tidak menyangka itu semua adalah suatu hal yang menyenangkan. Saat gue melakukan itu, semangat gue berkobar, rasa senang gue memuncak hingga gue tidak tahan untuk senyum atau bahkan ketawa dengan tak jelasnya, darah gue mendidih, seakan sel-sel syaraf gue yang sudah lama mati hidup kembali. Suatu kesenangan yang tidak tara.
Tapi, itu adalah gue waktu di sekolah. Di rumah? Mungkin gue adalah anak yang paling tidak bisa mendapatkan kebahagiaan saat dirumah. Pulang, gue asal copot sepatu, dan segera masuk kamar. Jujur, gue takut. Gue takut diri gue dipukul oleh bokap gue. Gue takut, kejadian gue disiram dengan air seember itu terulang lagi. Gue juga takut kejadian gue harus dikunci di kamar mandi itu terjadi untuk ketiga kalinya. Karena itu, gue memutuskan mengunci diri di kamar.
Malam itu perut gue bunyi, tanda meminta makanan untuk dimasukkan ke dalam perut. "Anjir lah, kalo gue keluar, nanti ketemu bokap gue gimana." Tapi karena perut gue yang tidak mau diajak bekerja sama, gue putuskanlah untuk keluar pelan-pelan dan mengambil makanan. Gue buka pintu kamar dengan pelan, sangat pelan. Berjalan dengan mengendap-endap supaya tidak terdengar oleh bokap ataupun nyokap gue. Sesampainya di depan rice cooker, gue ambil piring dan sendok yang ada di sebelah rice cooker itu. Pelan.. pelan.. gue ambil lauk yang tersedia di meja makan. Terakhir, minum. Saat-saat mengambil minum adalah saat paling menengangkan, kenapa? Karena air yang dikeluarkan dari lubang dispenser dan turun dengan derasnya ke gelas selalu menimbulkan suara keras yang seolah memberi tanda orang seisi rumah, kalau ada orang sedang mengambil minum di sini.
Seolah-olah mendukung rasa deg-degan tadi, gue dikagetkan dengan suara pintu ruang tamu yang tiba-tiba terbuka. Gue panik, sosok yang muncul dari balik pintu itu adalah bokap gue sendiri. Gue buru-buru balik ke kamar, menghindari kontak dengan ayah gue. Tapi, nasib berkata yang lain. Ayah gue memanggil gue, "Hei anak kurang ajar!! Ayah dateng bukannya disambut, malah lari. Sudah mulai berani kamu? Sini!!!"
Pasrah, hanya itu pilihan gue. Perlahan, sambil menahan kaki yang gemetar, gue berjalan ke arah bokap gue. Semakin dekat, gue mencium bau yang sudah tidak asing lagi buat gue. Ya, bau alkohol. Belum sampai ke arah ayah gue, PLAAKK!!! Tangan besar dan kuat bergerak secara cepat ke pipi gue, meninggalkan bekas panas berwarna merah di pipi gue. Marah, kesal, sakit. Semua bercampur aduk di kepala gue, ingin gue balas tamparan itu dengan suatu pukulan keras yang mewakilkan perasaan gue selama ini. Namun gue sadar kalau itu percuma. Diam menerima, cuman itu yang bisa gue lakukan.
"Gimana? Sudah sadar anak durhaka? kalau ada orang tua baru datang itu, siapin minum. Bukan malah buru-buru masuk kamar." Ucapan bangga yang keluar dari mulut manusia yang hina itu.
Gue mengangguk.
"Pergi sana, ayah tambah pusing liat mukamu."
Baliklah gue ke kamar dengan menerima semua rasa sakit itu, gue hanya sebagai samsak di di rumah gue sendiri.
Suatu hari, saat gue ada di sekolah, tiba-tiba ibu gue menelfon. "Halo nak, kamu cepet ijin pulang, ayahmu kritit, masuk ke UGD."
Gue masukkan HP gue ke saku, merapikan semua buku yang ada di atas meja, mengambil sweater gue di tas, dan segera meminta ijin pulang ke guru gue. Keluar gerbang sekolah, entah perasaan apa yang gue rasakan, tidak ada perasaan sedih, yang ada hanya perasaan lega. Kenapa gue? Apa yang salah dengan diri gue? Padahal Ayah gue masuk rumah sakit, tapi kenapa perasaan gue malah lega? Sesampainya di rumah sakit, gue disambut dengan air mata yang mengalir dari ibu gue. Ibu gue menangis tersedu sedu. Gue bingung, dikala ibu gue sedih hingga menangis, cuman gue yang senang. "Kenapa ma? Kok Mama sampai nangis gitu?" Tanya gue.
"Ayah kamu kena penyakit liver, dan kata dokter sisa waktunya tinggal 2 bulan lagi." Jawab Ibu gue sambil mengusap air mata di pipinya.
Mendengar jawaban dari ibu gue, gue kaget, juga sedih. Gue bilang. "Aku pulang bentar ya ma, ganti baju, kayaknya kita bakalan nginep di rumah sakit kan? Kasian Ayah kalau ditinggal."
Ibu gue mengiyakan.
Gue memutar badan, mengambil tas yang semula di lantai dan bergegas keluar dari rumah sakit.
Sesampai di luar rumah sakit, gue merasakan kesedihan serta kekecewaan di hati kecil gue. Dua bulan ya, gue sudah tidak sabar memulai hari baru setelah kematian ayah gue.
Comments
Post a Comment