Apa Gue Bangga Itu Salah?

Jadi, gue adalah mahasiswa dari salah satu kampus yang bisa dibilang lumayan populer di Indonesia. Sebagai bagian yang masuk dari lingkaran tersebut, gue merasa bangga dan sekaligus sedih. Kenapa? Karena gue punya cerita, ini cerita gue.


Waktu kelas 3 SMA, gue belajar mati-matian, tiap hari gue belajar. Buku, latihan soal, angka, tulisan adalah makanan sehari-hari gue. Suatu ketika ibu gue bilang dengan nada lembutnya, "Nak, ayo jalan-jalan sama keluarga, mumpung ayahmu pulang lo. Jarang-jarang kan ayah pulang, mumpung hari sabtu juga, kan besok libur."

"Males ma, mending aku dirumah aja baca buku, jarang banget aku bisa santai baca buku kalo ga malem minggu doang. Mama sama ayah aja yang pergi."

"Oh.. yaudah kak, kalo gitu kita ga jadi pergi aja, kayaknya Ayahmu juga capek. Mama masuk ke kamar ya.." Sahut ibu gue tetap dengan suara halus yang rendah tapi ada kesedihan di dalamnya.

Ujian nasional sudah semakin dekat, gue semakin banyak belajar, entah sudah berapa lama gue tidak melihat ayah gue lagi, setiap pulang, yang gue temuin cuma Ibu gue duduk di kursi meja makan dan dengan makanan di depannya. Gue pun duduk bareng ibu gue, mulai menyantap makanan yang sudah disiapkan dengan penuh kasih sayang oleh ibu gue. Saat makan tiba-tiba ibu gue menanyakan pertanyaan yang bikin gue bosen dengerinnya, "Gimana nak di sekolah?"

"Yaudah gitu-gitu aja lah ma, emang apa yang bisa terjadi di sekolah? Kebakaran?" Sahut gue dengan nada agak tinggi.

"Engga nak, maksud mama itu kamu di sekolah seneng-seneng aja kan? Ga ada masalah atau lain-lain?"

"Seneng gimana? Habis ini aku mau ujian, mana bisa seneng-seneng di sekolah."

Ibu gue diem saja. Sembari mengambil minum, dia cuman bilang "Semangat ya nak, ibu doakan yang terbaik buat kamu."

Gue diem. Menghabiskan makanan yang tinggal sedikit, minum, dan gue langsung masuk kamar tanpa mempedulikan ibu gue yang masi makan di luar.

2 hari lagi ujian nasional, jantung gue semakin sering berdegup, menandakan bahwa gue merasa belum siap menghadapi ujian itu. Karena sebelumnya gue sudah mendedikasikan hidup gue selama kurang lebih 6 bulan untuk belajar, belajar, dan belajar. Akhirnya gue memutuskan untuk refreshing, pergi bersama teman, berusaha melupakan sejenak beban yang yang akan gue hadapi bersama di kemudian hari. Malam itu sangat menyenangkan, tak terasa tiba-tiba jam menunjukkan pukul 12 malam, gue rogoh kantung saku dan mengambil handphone, ada panggilan tak terjawab sebanyak 17 kali.

Pulang, sampai rumah, gue disambut dengan muka marah bercampur bingung dari ibu gue. Berbagai kata ia lontarkan ke gue, mencurahkan semua isi hati yang telah ia pendam sejak tadi. Dengan kesal, gue berjalan ke arah kamar tanpa mempedulikan semua omongan dari ibu gue.

Malam berlalu, hari esok datang, minggu. Apa yang harus gue lakukan di hari itu. Deg-degan? Pasti. hanya itu yang gue rasakan sepanjang hari itu, seakan-akan semua yang sudah gue pelajari tidak mau menenangkan hati gue sendiri. Hanya bingung, gundah, gelisah disertai keringat dingin dan tubuh yang gemetar menghantui kepala dan badan gue. Malam itu gue cuman berdoa, berharap yang terbaik yang bakal gue dapatkan di kemudian hari.

Hari perjuangan datang, dengan semua persiapan, gue siap untuk melewati 4 hari penuh tekanan itu. Hari pertama Bahasa Indonesia, semua soal yang ada di depan mata, gue baca dengan seksama. Gue terkejut, soal yang dikeluarkan ternyata tidak semengerikan yang gue bayangkan. Bahkan, gue bisa ngerjain soal tersebut tanpa harus berpikir keras, seneng bercampur bangga sudah memenuhi kepala gue.

Hari kedua, Matematika. Anjirr.. matematika, bakalan bisa ngerjain dan keburu ga ya waktunya buat ngitung. Cuman itu yang gue pikirkan sejak berangkat dari rumah hingga duduk di kursi tempat gue akan berpikir keras. Namun, tuhan masih sayang kepada gue. Tangan yang basah karena keringat, keinginan untuk ke kamar kecil karena gugup dan semua kekhawatiran gue hilang seketika ketika gue mulai mengerjakan soal matematika. Sama sekali tidak ada kata susah saat mengerjakan soal-soal itu.

Hari ketiga dan keempat pun sama. Gue takut soal yang harus dikerjakan bakal susah, gue gugup, tapi perasaan lega selalu datang di saat gue mulai melihat dan mengerjakan soal.

Di hari terakhir, gue merasa bangga dan bagai burung yang berhasil terbang, gue merasa bahwa gue tidak memiliki beban hidup. Gue berniat merayakan ini dengan pergi bersama teman-teman gue. Singkat cerita gue naik motor dibonceng oleh teman gue, berniat pergi ke sebuah warung kopi deket rumah gue untuk nongkrong terus sekalian main ke rumah gue. Di jalan gue ngeliat ibu gue pulang ke arah rumah, tapi gue abaikan toh bakalan ketemu nanti di rumah pikir gue.

Entah kenapa, motor temen gue oleng dan jatuh secara tiba-tiba, pas banget jatuhnya di perempatan jalan yang kendaraan dari arah utara sedang melaju kenceng-kencengnya. Motor, mobil, truk, bis semua dalam keadaan ngebut dan kondidi yang tidak memungkinkan untuk berhenti. Gue pasrah, di waktu itu juga gue menyadari semua dosa gue, semua perbuatan gue ke ibu gue, cacian yang gue lontarkan ke ibu gue, perasaan kesal serta amarah yang tidak sepatutnya gue berikan untuk ibu gue.


BRUAAAKKK....

Sebuah bis besar yang seharusnya menabrak gue, dengan sigapnya membelokkan dirinya ke jalan lain. Menabrak sebuah tiang, serpihan kaca bertaburan di sekitarnya, tampak bis yang awalnya kokoh menunjukkan ketidak berdayaannya. Tampak bagian depan bis itu penyok, tidak kuat menahan tiang yang masih berdiri dengan kokohnya.

Dengan keringat bercampur debu, goresan yang mengeluarkan cairan merah, serta sisa kesadaran yang ada di tubuh, gue berusaha berdiri. Belum sampai gue berjalan ke pinggir, gue melihat ada cairan yang keluar di sebelah tiang, berwarna sama seperti luka gue. Ya, darah.. Tapi, darah siapa? Gue kira bis tadi hanya menabrak tiang. Ternyata dugaan gue salah.

Darah itu adalah darah seseorang yang selalu memperhatikan gue, selalu tersenyum walaupun lelah, letih. Seseorang yang mendoakan gue walaupun gue melakukan yang sebaliknya. Sedih, marah, kesal, putus asa, semua bercampur menjadi satu. Ingin gue ulang apa yang bisa gue ulang.


Itu, adalah darah ibu gue. Masyarakat sekitar yang melihat langsung memanggilkan ambulan, gue, ibu gue, dan temen gue dibawa ambulan menuju rumah sakit terdekat, dan untungnya gue hanya mengalami luka serta shock karena jatuh.

Luka yang gue rasakan tertutup dengan rasa kekhawatiran gue akan kondisi ibu gue, sehingga gue bergegas ke tempat ibu gue dirawat, ingin melihat keadaannya. Lorong panjang gue lalui, pintu demi pintu gue lewati, hingga gue sampai di depan kamar ibu gue. Masi dengan nafas tak beraturan gue tanyakan bagaimana kondisi ibu gue ke dokter yang kebetulan keluar dari kamar tempat ibu gue dirawat.

Gue masih ingat dengan apa yang dokter itu katakan kepada gue.

Dengan pelan tapi pasti, tangan dokter itu bergerak dan mendarat tepat di atas pundak gue, dengan suara pelan dokter itu bilang.

"Maaf dik, kami sudah berusaha semaksimal mungkin."

Comments